Monday 1 July 2013

Langit di Atas Laut




Aku mau muntah melihati langit di atas laut...

Semburat yang tak akan cacat.
Oranye dan biru.

Seandainya pahitku dan nafsumu boleh berpadu jadi harmoni warna lembayung memagut ombak.
Bukan topeng yang sembunyikan borok menahun busuk berkabung, permanen menginfeksi,
makin parah,
makin parah,
makin parah.

Seandainya bibir yang dirampok sekian kali,
Setubuh yang dicuri sekian kali,
Peluk yang dimanipulasi sekian kali,
Liukan jemari yang berlomba dengan air dari kelopak mata memohon belas kasihan buat dia yang setengah mati mencari beda cinta dan birahi. Sekian kali.
Dikhianati ekspektasi sendiri.
Oranye dan oranye.
Biru dan biru.
Nafsu dan nafsu.

Aku mau muntah melihati langit di atas laut.
Yang menjanjikan masa lalu bisa dianggap angin sekedar lalu.
Muntah.
Kabur dan ketakutan.
Muntah.
Digerayangi dan diciumi.
Muntah.
Disayang dan diminta maafi.
Muntah.
Dipuja bagai dewi suci.
Muntah.
Menunggu diselamatkan.
Muntah.
Aku sudah tidak bisa berfikir jernih.
Semua membikin muntah.

Aku masih muntah melihati langit di atas laut...

Pertaruhan yang sudah permanen cacat.
Oranye dan biru.