Thursday 11 October 2012

sajak pelaut: himne kesepian


mengapa kau mencari ombak ini, nona?
aku membencinya, kutemui dia setiap hari

aku penat oleh kota dan ramai, tuan pelaut. penat oleh mereka yang mengetuk di pintuku tuk mengusir sepinya mereka.

dan kau berjalan sendirian, nona?
tidakkah kau takut? 

aku sejenak lari dari manusia. manusia yang membuatku takut, maka aku berjalan sendirian. laut tidak membuatku takut karena aku cuma melihati dari tepian, takkan berkenalan dengannya.
dan kau yang mengenal laut, tuan pelaut, tidakkah laut membuatmu takut?

ah, apa itu takut? yang kutahu, kami cinta laut, nona. kami cinta bahayanya; kebahagiaan kami berlipat-lipat jika selamat dari badai. ah, tapi kami benci sepinya laut, walaupun kadang rindu, haus akan kesepian itu. laut adalah ibu dari segala kesepian, nona. luas, kejam, tanpa pijakan. keras, lembut, indah, memuakkan, membosankan. jiwamu bisa berkaca bahagia dan derita bersama laut. menghayati keduanya, adalah sebuah permenungan yang sendirian, bukan?

lalu apakah sepi membuatmu takut?

nona,
kami bertahun-tahun menggaruki rindu pada birahi,
rindu menjadi ayah yang menggalaki bujangnya,
mengiri kalian yang sekali-sekali menengok laut dan masih terpaku akan cantiknya,
tapi bukan takut yang kami dapatkan, nona.
kami benci, tapi kami juga cinta sepi.
kami jadi rindu merindu,
rindu membunuhi sepi

tuan pelaut, bukankah kita tak akan bisa paham nikmatnya sepi jika belum pernah sesak oleh keramaian; dan tak bisa pula mensyukuri bahagia di ramai, kalau belum menghayati pedihnya sepi?

nona, laut punya cerita yang berbeda. keduanya, sepi dan ramai, adalah satu. nona tak akan paham. kami pun tak pernah paham...

Tuesday 2 October 2012

dan kita bicara perihal kehampaan


Baru dua minggu, tapi sudah lama sekali rasanya. Kau jauh dan terlalu menjijikkan buat kuajak bicara. Dua minggu lalu aku belajar darimu tentang air susu dibalas air tuba. Juga tentang keadilan, bahwa rasa tidak bisa dipaksa, tapi etika patut tetap ada. Dan kau kalah, aku telah bisa seribu kali disalibkan lalu memaafkan; tapi kau jatuh di lubang yang sama berkali-kali, tak berniat bangun sama sekali. Kau menikung, aku tersenyum.

Baru dua minggu, dan sekarang aku berdiri di atas cara pandangmu. Aku tak jauh dan tidak menjijikkan, tapi enggan bicara. Kali ini tidak ada air susu ataupun air tuba, hanya paksaan hati untuk kabur semata. Aku mati-matian berusaha menggamit keadilan, bahwa rasa tidak bisa dipaksa, tapi etika patut tetap ada. Aku mencoba untuk tidak kalah, permisi dengan sopan, tanpa menyakiti perasaan. Dua kali dan itu melelahkan. Bukankah aku pernah berjanji tak lagi main kasar?

Memang lebih mudah jadi korban daripada penjahatnya.
Aku patut memanggilmu jahanam. Tapi tolong katakan, mereka tak boleh memanggilku jahanam...


Depok, 2 Oktober 2012