Sunday 16 August 2015

Hutan-hutan Beton

Sore-sore si Neng duduk sendiri di kafe, menghirup robusta pahit dari Aceh yang sungguh disukanya. Gatal digaruknya gigitan nyamuk di mata kakinya. Ah, sayang sekali nyamuk-nyamuk mengganggu kafe manis ini saja, pikirnya.

Sejenak ia lupa bahwa ia pernah rindu nyamuk -- beberapa bulan lalu saat ia nun jauh di seberang lautan tanpa si nyamuk. Lalu ia kembali ke tanah bernyamuk, menempati kos-kosan darurat nan nyaman, tapi sarang nyamuk. Segeralah kakinya bentol-bentol seperti anak kampung yang gemar main di selokan. Jijik sudah ia pada kakinya, dan hilang rindunya pada nyamuk, digantikan benci menjadi-jadi.

Saya berpikir kembali, seharusnyakah si Neng membenci nyamuk? Harusnya nyamuk-nyamuk itu jatah katak-katak lucu yang bunyi grok-groknya ia suka tirukan bersama adiknya, yang sekarang tidak pernah lagi terdengar karena mereka sudah mengungsi entah ke mana. Atau jatah cicak-cicak yang tampak begitu dungu saat menunggu nyamuk, namun cergas menelan bulat-bulat begitu ada nyamuk lalai yang sampai dekat hidungnya.

Tapi si Neng bukan membenci nyamuk, saya pikir lagi. Mungkin ia benci bangunan beton ini. Saya pandang-pandangi hutan beton bertingkat dua puluhan ini, yang semua tampak sama. Bahkan lapangan parkir, taman, sampai kamar orang semua tampak sama. Celaka! Bagaimana kalau si Neng khilaf, masuk kamar si Baba mesum karena salah kira itu kamarnya? Ah, banyak kasus pula di sini. Baba-baba mesum ini sudah membikin si Neng ketakutan, lebih takut daripada dilepas sendirian di hutan. Nah, kan, meleset lagi kita dari soal utama. Marilah kembali pada beton.

Seumur hidup Neng tinggal di rumah yang layak, dan kalau definisi si Neng akan layak adalah menginjak tanah dengan secuil hutan, mungkin yang salah memang keanehannya. Bukan gadis lemah hati si Neng ini, dan bukan kesederhanaan kamar yang bikin hatinya menggigil ciut kala memilih tempat bernaung. Ia sudah bertahan hidup seminggu di belantara hutan Sumatera, sampai busuk oleh lumpur tiap hari baju-bajunya itu. Ia sebulan tidur di lapak kayu bermatras tipis di pedalaman nun jauh di timur sana, di kamar berjendela alam telanjang, di bangunan beton yang pintunya hanya dari tirai -- tanpa mengeluh, justru berbahagia ia. Ah, belum lagi dua tahun ia tahan tinggal di kamar nahas itu, di perumahan mewah Pakubuwono yang dari luar mentereng sekali itu, tapi kamarnya kecil tak berjendela tak berventilasi, berjamur dan pengap. Rupa-rupanya ia lebih memilih menderita di kamar daripada menderita tak bisa nongkrong karena gaji NGO-nya yang sepertiga saja dari kiriman ayahanda biasa waktu kuliah dulu.

Tapi... "Tapi di hutan banyak yang bisa dilihat. Rindang, tak kepanasan. Ada suara burungnya. Tak pernah digigiti nyamuk aku di gunung. Dingin pula,"

Dan di pulau kecil di timur itu juga dingin udaranya, dan tak perlu khawatir dia akan Baba-baba mesum, yang kata orang, siap melancarkan aksinya di elevator tertutup yang tanpa CCTV itu. Lagipula, apa susahnya tidur di matras tipis, kalau dibuai dengan beribu bintang sebagai kelambunya, sebagai hasil dari gelap sempurna ketiadaan listrik di sana.

Lalu tentang kamar nahasnya yang tak berventilasi itu? Yang walaupun si Neng sudah memohon-mohon memasang AC, ternyata tak kuat tarikan listriknya? Bagaimana si Neng tahan dua tahun mondok di kamar yang seminggu sekali jamurnya tumbuh seram di lemari-lemari kayunya? "Gampang saja, aku hampir tak pernah di kamar. Kantorku 10 menit berjalan. Bisa nongkrong di taman, kan bagus sekali itu taman di depan rumah. Hijau dan rindang. Bahkan pagi-pagi aku bisa dengar si tekukur saling goda. Atau bisa nimbrung di tempat si mbok dan Pak Ncing saling ngomel satu sama lain. Atau lari-lari di kompleks juga enak, teduh dan hijau. Agung sekali pohon-pohon besar itu."

Saya berpikir lagi. Mungkin si Neng lupa, bahwa ia suka sekat-sekat yang terbuka bagi orang, dan di kampung sekat-sekat itu tak ada. Di pedalaman, si Neng bangun pagi dan melihat Mama Paulin memasak, ia punya orang yang ia ucapi selamat pagi. Si Neng bisa segera berjongkok di sebelah tungku, ngobrol tentang apapun sambil makan pisang ubi dan ikan asin. Kamarnya tidak mengisolasinya dari orang-orang, dan dengan itu ia tahu ia bisa percaya pada mereka, walaupun 200 dolar pernah lenyap dari dompetnya karena naifnya ia. Dan mungkin yang penting, ia menginjak tanah, tidak tersekat delapan belas lantai darinya. Bisa dilihatnya akar-akar yang disayangnya, kodok-kodok yang disukai bunyinya, atau si anjing dan si babi berebutan makan dari satu piring lalu tidur ngangkang di bawah pohon nira. Di tanahlah, di lantai satu yang bukan keramiklah, sekat-sekatnya dengan bumi, yang selalu siap ngobrol dengannya dalam diam, minimal.

Saya melihati kafe ini, yang cantik bukan kepalang, walaupun banyak nyamuk. Tapi ia tidak elok. Beton tetaplah beton, dan tanaman-tanaman kecil di pot ini membikinnya tambah cantik palsu saja. Karena satu alasan saja saya tinggal di sini, di gudang beton ini, menatap nanar kapan saya boleh kembali ke hutan kecil yang meliar, ke orang sungguhan yang tidak menatap hanya ke handphone-nya. Atau mengira gadis bercelana pendek yang bilang selamat pagi mencoba menggoda, seperti pecun yang memenuhi gudang beton ini. Kamar yang cantik ber-AC, yang menyelamatkan kaki saya dari nyamuk-nyamuk, bukan lebih dari penjara buat saya, yang hanya menendang saya ke kafe-kafe cantik palsu ini.

Ah, sudah saatnya saya mengganti si Neng dengan gadis kota. Bukankah gadis-gadis kota bisa hidup di Jakarta dalam macet berjam-jam, tanpa pusing berpikir daya dukung dan daya tampung provinsinya tercinta? Bukankah gadis-gadis kota sukarela membiarkan knalpot-knalpot Kopaja kentut, karena gadis-gadis kota aman di dalam taksi atau mobil pribadi? Bukankah gadis-gadis kota suka menutup diri di dalam kamar beton segi empat, karena baik perlindungan privasinya, dan tak perlu susah payah berinteraksi dengan tetangga-tetangga risih di sekitarnya?

Jakarta, baiklah, baiklah. Saya akan jadi Jakarta. Pergilah, Neng, mati kau ke hutan sana. Hutan-hutan sudah mati, bukan? Nah, matilah kau bersama mereka.

Merdeka!


Kalibata,
16 Agustus 2015