Wednesday 11 October 2017

Transisi



Apakah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan ingin menyandarkan kepala ke bahu seseorang yang nyaman?

San Fransisco, jam 11.10 malam.

Akhir dari dua minggu yang melelahkan. Beberapa belas hari perjalanan panjang penuh warna, yang mengingatkanku bahwa membangun sebuah hubungan membutuhkan investasi waktu yang penuh dan panjang. Berbagai siang yang penuh ide dan pemaksaan terhadap otak untuk memproses berbagai informasi hukum dari berbagai yurisdiksi, menerjemahkan ke dalam sistem hukum sendiri dan mengkontekstualisasikan apa yang bisa dipelajari dan digunakan dari si informasi. Malam-malam yang panjang – entah karena meneruskan bercerita dengan teman-teman baru di antara gelas-gelas bir, atau mengurus pekerjaan rumah di seberang lautan yang terus datang membanjiri.

Otak dan tubuhku ingin istirahat. Perasaanku ingin pulang.

Pulang. Menyandarkan kepala yang berat ke bahu yang nyaman. Menertawakan kesialan yang entah keberapa puluh kali memberikanku sedikit petualangan di setiap perhentian.

Ah, tapi apakah engkau tahu cerita lainnya? Saat tasku tersangkut di Atlanta ketika aku terbang ke Bogota? Saat pesawatku gagal berangkat karena gunung meletus dan mendamparkanku bersama beberapa belas pejalan lain di Ende, tempat Bung Karno diasingkan itu? Atau ketika aku terjebak badai di Ha Long Bay, Pulau Seram, di beberapa gunung?

Apakah engkau tahu bilik rahasia ini dimana aku menulis tentangmu? Bilik untuk mengabadikan perasaan – supaya engkau tidak hapus dari ingatan, dan mungkin sebagai suvenir ku untuk membungkus perasaan hangat yang kau berikan.

Tapi aku tidak hanya menulis perasaanku untuk atau karenamu di bilik ini. Aku menulis pemikiranku, harapanku, kegembiraanku, cintaku pada banyak sekali hal selain engkau, caci makiku dan kekecewaanku. Aku menulis imperatif moralku; semua hal baik yang kukira bisa aku sebarkan, ide-ide yang tidak termatikan. Seringkali aku gagal, dan ia juga kutuliskan. Apakah engkau tahu? Inginkah engkau tahu?
 
Aku bertanya-tanya apakah engkau akan pernah menjadi tempatku pulang. Tempat pulang dengan rasamu sendiri, sehingga aku tidak perlu mengingat-ingat bagaimana aku pulang kepada siapapun yang pernah kuanggap rumah. Tempat pulang yang menerima perubahan; yang terbuka dengan perkenalan yang lebih dalam pada setiap lapisan karakter kita, bahkan sisi sisi gelap yang mungkin belum pernah kita temui. Tempat pulang yang memberikan kebenaran, bukan keindahan superfisial.

Dan aku akan terus penasaran; bisakah aku menjadi tempatmu pulang?