Friday 1 April 2011

suami sang pelacur; suamiku.


Suamiku, masih kau disitu, bersama mimpi-mimpimu?
Tentu aku jatuh cinta padamu.

Pada kemiskinanmu.
Pada kecintaanmu.
Pada keluguanmu.
Pada gairahmu yang mungkin lebih pada itu daripada kepadaku.

Tentu, hatiku terpagut penduaanmu.

Karena aku telah melacurkan idealismeku pada dunia.
Aku hanya kegagalan sebuah idealisme, suamiku.
Kau idealisme sejati yang gagal di dunia.

Masih disitu kau suamiku:
Terjebak dalam mimpi-mimpimu.
Dibuaiku,
Yang melindungimu dari dunia.

masif, membuncah

Duduklah disini, mas. Ujarku memaksa pelayan itu duduk di depanku. Ia duduk.

Mengapa anak muda harus begitu haus dan rakus? Ia diam, bingung. Ia seumurku.

Mengapa mereka harus begitu gelisah? Ia masih diam. Mungkin ia tak mengerti apa kegelisahanku. Ingin aku dapatkan darinya timbang rasa, kenyataan bahwa ia gelisah pula sepertiku. Tapi ia tampak tenang, tak tergugat.

Mengapa kita bertanya mengapa? Ia masih diam. Mungkin ia tidak bertanya mengapa. Ah, enaknya punya hati lega sepertinya. Kalau aku jadi dia mungkin aku sudah mati bertanya pada diriku sendiri saat kubekerja berjam-jam dengan tubuhku saja seharian. Mati bertanya karena otakku tak disumpal dengan perkara-perkara yang dilimit secara konkrit.

... Aku diam, tak kulanjutkan. Kulumat lagi buku-buku ini. Musik-musik dan lirik-lirik ini. Peradaban ini. Semua yang telah berdosa memasukkan berbagai macam sampah ke otakku yang impulsif mencari fakta dan makna.

Mungkin manusia membuat agama karena disitu ia bisa berlindung dari otaknya yang terlalu banyak mencecar pertanyaan sampai mau meledak. Ya ya ya, aku beruntung sedikit mengenal pengetahuan. Sekaligus begitu lemah karena dengan pengetahuan yang begitu secuil saja sudah pusing.

Ah, khas anak muda...

Di sudut sana segerombolan lelaki muda memandangiku. Mengerling genit.

Aih ini pula. Khas anak muda yang lainnya. Beda dunia. Sama gelisah. Bisa-bisanya kau galau kekasih setiap hari, tuan-tuan; menggoda wanita. Si pelayan masih terduduk di depanku. Kuteruskan membaca.

Tidakkah aku seharusnya berkaca pada realita? Kenapa malah terjebak disini?