Monday 17 June 2013

kontemplasi painkiller


ini racun, sayang.

bukan, ini obat.

malu aku menenggaknya. katamu kan kekuatanmu melampaui segala rasa sakit?

obat juga kekuatan pikiran. pikiran manusia-manusia terdahulu yang sudah melalui ribuan percobaan gagal, melampaui rasa sakit jutaan orang, menyaksikan yang mati dan bertahan.

lalu, rasa sakit ini apa? dia sudah mengalami ratusan kali sakit hati dan tidak perlu menenggak racun ini. kalau kau mau bekerja sama denganku, rasanya kita bisa memberangus rasa sakitnya kali ini. seperti yang lalu-lalu.

ini saraf, bukan cuma perasaan. aku bisa mengontrol perasaan. perasaan tidak akan berdampak banyak ke kau selama masih dalam kontrolku. aku bisa mengontrol kau, tapi ada kalanya kau yang mengontrolku. rasa sakit akan membuat kau mengaktifkan bagian binatang dariku. dan itu saja yang berfungsi, naluri bertahan hidup. lihat, dia sudah kehilangan pesona berpikirnya, bahkan kau bisa merasakan ada kehangatan yang menjadi dingin dari karakternya.

apa kau kuat mewujudkan ambisinya?

bukan apa aku yang kuat pertanyaannya, tapi apa dia kuat? aku punya batasan koordinasi dengan saraf, sekalipun kenaifan dan tekadnya mungkin bisa mencegahnya dari mengambil dosis berlebih. tapi lingkungannya sudah memprogramku mudah, seperti kamu juga sudah terprogram mudah. kaumnya di dimensi waktu ini tidak biasa menghadapi rasa sakit - karena semuanya mudah. obat mengontrol penerimaan mental seseorang, memasang garis awal dari toleransi rasa sakit.

racun. tiap tenggak tambahan cuma membuat kita makin melemah.

mungkin memang ya, tapi ini membantu aku maupun kau untuk tetap normal.

ini bukan normal. ini manipulasi.

200 juta tahun mereka hidup dengan memanipulasi semuanya untuk bertahan hidup. dengan mudah tentunya.

kalau aku sudah terlalu sakit, apakah kau masih ada?

aku ada terus sampai dia mati. ayolah, aku adalah penentu definisi mati, tidak mungkin aku menghilang sebelum dia mati. tapi kau mungkin tidak bisa bicara denganku. cuma ada naluri binatang dalam skala tinggi rasa sakit. ambisinya ketinggian, tapi tidak apa-apa, kau masih bisa ditemani hati.



"kami titip amanah, bapak..."


kami terbatas elektabilitas
kami terbatas elektabilitas
kami terbatas elektabilitas
kami tak punya kapasitas, jika bukan elektabilitas

karena kebenaran hanyalah suara mayoritas
karena perjuangan hanya pemuas mayoritas
karena mayoritas terlalu mudah dibuat bias,
atau tak perduli kalau isu belum panas,
kami tak perlu mendidik, cukup membeli mayoritas

kami terbatas elektabilitas
kami terbatas elektabilitas
kami terbatas elektabilitas
kami tak punya kapasitas, jika bukan elektabilitas

*) terima kasih kepada Bapak Bobby A. Rizaldi dari Komisi VII DPR atas kejujurannya di ruang publik bahwa bagi politisi isu apapun ada di bawah prioritas elektabilitas, bahwa bumi juga harus bertoleransi pada elektabilitas

Saturday 1 June 2013

seharusnya tidak

terlalu sering kita harus menjadi amnesia. terlalu sering harus membuang yang dulu gemilang. kita telah diajar pengalaman, namun kadang penyangkalan tetap gagal mempertahankan jarak aman.

hati, nurani, otak dan badan bukan kawan yang selalu sejalan, apalagi ketika dipadu dengan pilihan. bukannya tepat macam-macam dengan kau - terlalu berharga kalau suatu hari harus kubuang. karena aku tak mau memulai saat pemikir tak bisa berpikir, dan mengakhiri saat pecinta tak lagi mencinta.

maafkan benteng ini,
sempat gagal bertahan.