Apakah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan ingin
menyandarkan kepala ke bahu seseorang yang nyaman?
San Fransisco, jam 11.10 malam.
Akhir dari dua minggu yang melelahkan. Beberapa belas hari
perjalanan panjang penuh warna, yang mengingatkanku bahwa membangun sebuah
hubungan membutuhkan investasi waktu yang penuh dan panjang. Berbagai siang
yang penuh ide dan pemaksaan terhadap otak untuk memproses berbagai informasi
hukum dari berbagai yurisdiksi, menerjemahkan ke dalam sistem hukum sendiri dan
mengkontekstualisasikan apa yang bisa dipelajari dan digunakan dari si
informasi. Malam-malam yang panjang – entah karena meneruskan bercerita dengan
teman-teman baru di antara gelas-gelas bir, atau mengurus pekerjaan rumah di
seberang lautan yang terus datang membanjiri.
Otak dan tubuhku ingin istirahat. Perasaanku ingin pulang.
Pulang.
Menyandarkan kepala yang berat ke bahu yang nyaman. Menertawakan kesialan yang
entah keberapa puluh kali memberikanku sedikit petualangan di setiap
perhentian.
Ah, tapi apakah engkau tahu cerita lainnya? Saat tasku
tersangkut di Atlanta ketika aku terbang ke Bogota? Saat pesawatku gagal
berangkat karena gunung meletus dan mendamparkanku bersama beberapa belas
pejalan lain di Ende, tempat Bung Karno diasingkan itu? Atau ketika aku
terjebak badai di Ha Long Bay, Pulau Seram, di beberapa gunung?
Apakah engkau tahu bilik rahasia ini dimana aku menulis
tentangmu? Bilik untuk mengabadikan perasaan – supaya engkau tidak hapus dari
ingatan, dan mungkin sebagai suvenir ku untuk membungkus perasaan hangat yang
kau berikan.
Tapi aku tidak hanya menulis perasaanku untuk atau karenamu
di bilik ini. Aku menulis pemikiranku, harapanku, kegembiraanku, cintaku pada
banyak sekali hal selain engkau, caci makiku dan kekecewaanku. Aku menulis imperatif
moralku; semua hal baik yang kukira bisa aku sebarkan, ide-ide yang tidak
termatikan. Seringkali aku gagal, dan ia juga kutuliskan. Apakah engkau tahu? Inginkah engkau tahu?
Aku bertanya-tanya apakah engkau akan pernah menjadi
tempatku pulang. Tempat pulang dengan rasamu
sendiri, sehingga aku tidak perlu mengingat-ingat bagaimana aku pulang kepada
siapapun yang pernah kuanggap rumah. Tempat pulang yang menerima perubahan; yang
terbuka dengan perkenalan yang lebih dalam pada setiap lapisan karakter kita,
bahkan sisi sisi gelap yang mungkin belum pernah kita temui. Tempat pulang yang
memberikan kebenaran, bukan keindahan superfisial.
Dan aku akan terus penasaran; bisakah aku menjadi tempatmu
pulang?