Saturday, 29 September 2018

Dan kau mencintaiku karena...


Kau bilang aku membuatmu merasa dipahami. Sabar, sayang. Mungkin tak hanya kau yang merasa begitu.

Tapi aku memang memahamimu. Aku memahami bahwa bagimu tiap yang manusia lakukan adalah bagi dirinya sendiri. Dan memang seharusnya demikian bagimu.

Aku bisa saja bilang aku memilihmu karena engkau adalah engkau. Engkau yang mampu mengartikulasikan segalanya. Engkau yang berkomunikasi baik tanpa usaha. Engkau yang cerdas. Engkau yang berpikir selangkah lebih maju. Engkau yang andal. Engkau yang peduli dengan apa yang aku rasakan. Engkau yang menyayangiku. Engkau yang selalu membuatku merasa punya teman menghadapi apapun yang kita lalui. Engkau yang memaafkan. Engkau yang kadang tidak wajar. Engkau yang nyaman bersamaku. Engkau yang tidak mudah dipuaskan. Engkau yang mudah kesal. Engkau yang kadang merasa sendirian. Engkau yang menatap hidup dan bertanya-tanya. Engkau yang kadang meragu. Engkau yang rapuh. Engkau dan rahasia-rahasia kecilmu yang kau bagi denganku.

Kejujuran dan doronganmu memberiku ruang untuk berani jujur. Kau membantuku mengidentifikasi dan mengungkapkan hal-hal yang mengganggu, agar kita bisa lebih logis mengelola rasa, bahkan ketika itu tidak masuk akal. Kau mewujudkan kita yang mengapresiasi baik dan buruk sebagai persepsi dan situasi. Kau merealisasikan kita yang sanggup menegosiasi dan memufakati langkah kecil untuk memperbaiki. 

Engkau melengkapi semua yang pernah aku harapkan namun tak aku dapatkan. Engkau membuat ekspektasiku terbayar. Dan bagimu, yang kuapresiasi darimu bermuara pada diriku sendiri.

Tapi ada yang mengganjal.

Aku tak ingin kita lupa bahwa kau dan aku adalah diri kita masing-masing. Dan aku ingin kau mawas, bahwa mudah mencintai persepsi kita sendiri akan seseorang. Kadang kita sukar membedakannya dengan seseorang itu sendiri. 

Tapi kau adalah kau, dan aku adalah aku. Kau adalah proses internal yang berbeda denganku, kecerdasan yang berbeda denganku, kemampuan beradaptasi yang berbeda dengaku, persepsi yang berbeda denganku, pengalaman dan sejarah yang kau cerna tanpa pernah kutahu bagaimana kau mengolahnya. Sebagian darimu adalah pengalaman batin yang tidak kukenal.

Aku membuatmu merasa dipahami, tapi mari kita tidak lupa bahwa itu hanya persepsi. Kau dan aku adalah entitas yang berbeda, dan aku ingin mengasihimu sebagai engkau, dan aku dikasihi sebagai aku. Sanggupkah kita menyadarkan diri bahwa ide ku tentang mu belum tentu kamu, dan ide mu tentang ku belum tentu aku? 

Karena kukira, aku jatuh cinta padamu, bukan bayanganku akanmu.

Tuesday, 11 September 2018

Maafkan aku kau lahir jadi perempuan


Tapi kau harus tahu
Tawa renyahmu ancaman
Wajah cantik takkan buat kau nyaman
Akrabmu berbatas tafsir lelaki dikira undangan
Takut akan menghantuimu selama kau masih menawan
Dan seseorang akan mengatakan
Itu semua salahmu, jalang

Pada akhirnya ada yang melengkapi yakin


Tak kusangka namanya pengampunan
Ia lahir dari langkahmu yang letih
Menghalau khilafku yang pedih

Tuesday, 10 July 2018

Do it because you want to

Not because you have to.

A simple line.
A life changer.
Want it.
Otherwise, don't do it.

And I want...
To give, because your happiness is satisfying.
To provide comfort, because your honesty is my safe place.
To listen and share, because with you I excel in communicating.
To do so much things with you because it's fun.
To refrain from things that made you upset because I can make much more fun with you at your best.
To compromise, because I like the way we solve problems.

I do it for me, not for you.
And you tell me this for yourself, not for me.

But it's liberating.
And I don't want to lose that.
To want to.
To have this perspective while trying things out until our list exhausted.

You're an experiment.
And an equal experimenter -- that I look up to.

Sunday, 13 May 2018

On Falling in Love


Some things are better be documented when they are. Feeling is one example – and we tend to document them through expression. But in the past I tend to focus on the bad feelings. I have all the poems expressing my disgust, my disappointment, my ache. But I only have a few documenting my highs.

And I’m high on love right now. So I’ll write.

He feels like satisfaction. Maybe like earning your favorite peak. It’s an overflowing feeling when you discover, or achieve. High dose. Hard work paid off. But at the same time, it’s a calm satisfaction. Maybe like meeting your all-time favorite geek. Or like going home. He feels like enough. Like you’re being overconfident that you’ll be sufficiently content to be around for infinity. Feels like you’ve seen it all, there is no more to see. Or maybe it’s enough because in it you still have so much to see.

He feels like pride. Like someone you can always adore. Like seeing a great potential growing up. Like a teammate to always count on, that one person whose quality you want to brag about. He’s good at everything. He’s lovely on everything.

He feels like education. Or inspiration. It feels like you’re embarking with him an expedition of finding the treasure of life’s seemingly boring task. He minds your curiosity to random, insignificant goods of daily life. He knows their science. He’s the kind of knowledge that’s inviting, not intimidating. And in education, you level up. It translates dreams into vision, a tangible goal. It makes you grow up, rapidly, steadily.

He feels like my contribution. Where my strength and weaknesses are welcome as complementary. Where I am appreciated for my quality, and tolerated for my flaws – which aspire me to improve, tolerate, give, love, because I really want to, not because I feel like I have to. He makes me feel like I’m ready to give up the things I love because I’m happy to do it for me.

He feels like a risk worth taking. An effort worth enjoying. A temporary feeling worth nurturing.

Here and now, I love him.

So much, more than the future can obscure how much I mean when I’m documenting this. And I'm embracing all this cheesy expression triggered by this feeling.

Wednesday, 11 October 2017

Transisi



Apakah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan ingin menyandarkan kepala ke bahu seseorang yang nyaman?

San Fransisco, jam 11.10 malam.

Akhir dari dua minggu yang melelahkan. Beberapa belas hari perjalanan panjang penuh warna, yang mengingatkanku bahwa membangun sebuah hubungan membutuhkan investasi waktu yang penuh dan panjang. Berbagai siang yang penuh ide dan pemaksaan terhadap otak untuk memproses berbagai informasi hukum dari berbagai yurisdiksi, menerjemahkan ke dalam sistem hukum sendiri dan mengkontekstualisasikan apa yang bisa dipelajari dan digunakan dari si informasi. Malam-malam yang panjang – entah karena meneruskan bercerita dengan teman-teman baru di antara gelas-gelas bir, atau mengurus pekerjaan rumah di seberang lautan yang terus datang membanjiri.

Otak dan tubuhku ingin istirahat. Perasaanku ingin pulang.

Pulang. Menyandarkan kepala yang berat ke bahu yang nyaman. Menertawakan kesialan yang entah keberapa puluh kali memberikanku sedikit petualangan di setiap perhentian.

Ah, tapi apakah engkau tahu cerita lainnya? Saat tasku tersangkut di Atlanta ketika aku terbang ke Bogota? Saat pesawatku gagal berangkat karena gunung meletus dan mendamparkanku bersama beberapa belas pejalan lain di Ende, tempat Bung Karno diasingkan itu? Atau ketika aku terjebak badai di Ha Long Bay, Pulau Seram, di beberapa gunung?

Apakah engkau tahu bilik rahasia ini dimana aku menulis tentangmu? Bilik untuk mengabadikan perasaan – supaya engkau tidak hapus dari ingatan, dan mungkin sebagai suvenir ku untuk membungkus perasaan hangat yang kau berikan.

Tapi aku tidak hanya menulis perasaanku untuk atau karenamu di bilik ini. Aku menulis pemikiranku, harapanku, kegembiraanku, cintaku pada banyak sekali hal selain engkau, caci makiku dan kekecewaanku. Aku menulis imperatif moralku; semua hal baik yang kukira bisa aku sebarkan, ide-ide yang tidak termatikan. Seringkali aku gagal, dan ia juga kutuliskan. Apakah engkau tahu? Inginkah engkau tahu?
 
Aku bertanya-tanya apakah engkau akan pernah menjadi tempatku pulang. Tempat pulang dengan rasamu sendiri, sehingga aku tidak perlu mengingat-ingat bagaimana aku pulang kepada siapapun yang pernah kuanggap rumah. Tempat pulang yang menerima perubahan; yang terbuka dengan perkenalan yang lebih dalam pada setiap lapisan karakter kita, bahkan sisi sisi gelap yang mungkin belum pernah kita temui. Tempat pulang yang memberikan kebenaran, bukan keindahan superfisial.

Dan aku akan terus penasaran; bisakah aku menjadi tempatmu pulang?